Anggota DPR Sebut Pendidikan Indonesia dalam Kondisi Kritis, Minat Baca Rendah

Penulis: Administrator Pada: Jumat, 18 Okt 2024, 17:47 WIB DPR
Anggota DPR Sebut Pendidikan Indonesia dalam Kondisi Kritis, Minat Baca Rendah

ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Siswa SMA membaca buku di Perpustakaan

ANGGOTA DPR RI Gamal Albinsaid menilai pendidikan di Indonesia masuk dalam kategori kritis. Salah satu indikatornya, disampaikan Gamal, terlihat dari rendahnya hasil capaian Indonesia dalam program PISA (Program for International Student Assessment) pada tahun 2022. Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara dengan skor membaca, matematika, dan sains yang jauh di bawah target yang ditetapkan.

Menurut Gamal, hasil PISA tersebut merupakan skor terendah sepanjang sejarah Indonesia mengikuti PISA yang diinisiasi oleh OECD itu.

“Capaian nilai PISA kita tertinggal jauh dari rata-rata negara OECD dan ASEAN. Skor membaca 356 jauh, di bawah target RPJMN 392. Skor matematika 366, jauh di bawah target RPJMN 392. Skor sains 383, jauh di bawah target RPJMN 402,” kata Gamal di Jakarta, Jumat (18/10).

Gamal menyoroti krisis literasi di Indonesia. Berdasarkan data UNESCO, minat baca Indonesia berada dalam kategori memprihatinkan karena dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Penelitian World's Most Literate Nation Ranking oleh CCSU juga menyatakan Indonesia peringkat 60 dari 61 negara untuk minat baca.

“Outcome pendidikan kita belum optimal yang diukur dari berbagai hasil assessment pendidikan,” ungkap Politikus PKS itu.

Indonesia pun turut mengalami krisis numerasi. Menurut Gamal, berbagai assessment menunjukkan stagnasi atau kemajuan yang lambat terhadap kemampuan numerasi siswa di Indonesia.

Menurut Gamal, Indonesia telah berhasil membuka akses pendidikan, namun yang harus dilakukan selanjutnya adalah meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Pasalnya tidak sedikit anak-anak yang bersekolah namun tidak paham dengan apa yang mereka pelajari.

"Hasil tes IFLS menunjukkan rendahnya probabilitas siswa usia sekolah dalam penguasaan materi perhitungan dasar. Kemudian kenaikan jenjang pendidikan tidak menaikkan kemampuan literasi secara signifikan. Misalkan dalam tes IFLS anak kelas 1 mendapatkan skor 26,5% dan anak kelas 12 mendapat skor 38,7%. Jadi anak kelas 1 sampai 12 selama 12 tahun belajar kemampuan numerasinya meningkat hanya sekitar 12 persen saja,” imbuhnya.

Untuk itu, Gamal menilai perlu ada evaluasi sistem pendidikan di Indonesia. Sebab dari data tersebut dapat disimpulkan penambahan jenjang pendidikan tidak meningkatkan kemampuan numerasi anak-anak secara signifikan.

“Jadi, walaupun siswa tersebut naik kelas, peningkatan kemampuan siswa antara jenjang satu dengan jenjang berikutnya tidak memiliki kenaikan yang signifikan. Oleh, karena itu kita perlu memprioritaskan kemampuan literasi dan numerasi sebagai orientasi pembelajaran,” katanya.

Gamal menyoroti anggaran pendidikan Indonesia salah satu yang cukup besar di Asia. Berdasarkan amanat konstitusi, 20% anggaran negara setiap tahunnya harus dialokasikan untuk pendidikan.

"Padahal dengan adanya spending anggaran sekitar Rp 665 triliun kita seharusnya mampu melakukan akselerasi peningkatan indikator kinerja pendidikan.” pungkas Legislator dapil Jawa Timur V itu. (M-4)