Akal-akalan Maling Ikan Hadapi Susi

Penulis: Anata Syah Fitri Pada: Senin, 23 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Akal-akalan Maling Ikan Hadapi Susi

ANTARA/Joko Sulistyo

ADA perbedaan pola kapal asing yang beroperasi menangkap ikan secara ilegal di Indonesia bagian timur. Berdasarkan pengakuan seorang anak buah kapal (ABK) yang telah belasan tahun melaut di wilayah Indonesia Timur kepada tim Realitas Metro TV, masih banyak kapal asing yang beroperasi meski izin operasi telah dibekukan. Menurut pria yang meminta identitasnya dirahasiakan itu, perairan di Indonesia Timur banyak dijadikan lokasi pencurian ikan oleh kapal milik Tiongkok, Jepang, dan Korea.

Pria yang mengaku pernah bekerja di kapal Jepang itu mengatakan kapal-kapal nakal milik perusahaan asing biasanya memiliki target penangkapan khusus dalam setiap pelayarannya. "Kalau perusahaan Jepang, setelah beberapa bulan mereka akan kembali ke Jepang," ungkapnya.

Ia menambahkan, perusahaan Korea memiliki target operasi enam bulan di perairan Biak. "Setelah enam bulan, baik hasilnya sesuai target atau tidak, mereka akan kembali beroperasi di daerah lain selain Indonesia," lanjutnya.

Akan tetapi, lanjut dia, kapal dari Tiongkok tidak memasang target waktu dalam beroperasi. Menurut perkiraannya, rata-rata sebanyak 15 ribu ton setiap bulannya diangkut ke Tiongkok. "Kalau perusahaan Tiongkok, mereka akan tetap mengeruk sampai tidak ada ukurannya," imbuh pria yang telah berlayar hingga ke perairan Papua itu. Mereka menggunakan pukat harimau atau trawl untuk mengeruk ikan. Ikan yang tidak sesuai dengan kriteria dibuang setelah jaring naik badan kapal. "Rata-rata setengahnya dibuang. Yang diambil ikan yang menurut mereka punya harga," kata dia.

Moratorium izin usaha penangkapan ikan menggunakan kapal produksi asing atau eks asing menjadi gebrakan yang diberlakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak 3 November 2014. Itu salah satu gebrakan pada masa Menteri KKP Susi Pudjiastuti untuk menghalau aksi para pencuri ikan yang diatur dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara Perizinan Usaha Perikanan Tangkap. Pada praktiknya, moratorium yang seharusnya berjalan hingga 30 April 2015 itu banyak diakali.

Kemungkinan adanya permainan dengan aparat nakal mendorong Susi membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing atau Satgas Mafia Perikanan.

Pada 2014 tercatat, 147 kapal asing ditangkap karena illegal fishing. Pada 5 Desember 2014, tiga kapal berbendera Vietnam ditenggelamkan di perairan Anambas, Kepulauan Riau. Dua kapal berbendera Papua Nugini ditenggelamkan di perairan Ambon, Maluku, pada 21 Desember. Dua kapal berikutnya yang ditenggelamkan di perairan Anambas pada 28 Desember berbendera Thailand dan Indonesia, tapi berisi ABK warga negara asing (WNA).

Dugaan transshipment
Di Pelabuhan Wanam, Kabupaten Merauke, Papua, teronggok kapal MV Dafeng Mariner yang dioperasikan PT Dwikarya Reksa Abadi. Kapal itu ditahan bersama dengan kapal MV Hai Fa yang diduga membawa ratusan ribu ton ikan dan udang beku pada 13 Januari 2015.

PT Dwikarya mengoperasikan kedua kapal milik mitra mereka, yakni PT Antarticha Segara, itu sebagai kapal pengangkut dan penampung (tramper).

Namun, dalam sejumlah laporan pemeriksaan kapal Dafeng, tidak ditemukan muatan tangkapan. Dalam berita acara pemeriksaan 16 Januari 2015 yang ditandatangani Pengawas Perikanan Satker PSDKP Kimaan di Wanam Decky Reinald Sibi dinyatakan, MV Dafeng tidak melakukan bongkar muat sejak 28 Desember 2014 dan tiba pada 27 Desember 2014 dalam kondisi muatan nihil.

Penyelidikan tetap dilakukan KKP karena ada dugaan pemindahan muatan dalam semalam ke cold storage milik PT Dwikarya. Susi menduga telah terjadi transshipment, atau alih muatan, di tengah laut yang dilakukan perusahaan terbesar di Wanam tersebut.

KKP menerbitkan Surat Larangan Operasional Kapal Nomor B387/DJPT.4/PI.440.D4/I/2015 bertanggal 16 Januari 2015. Dalam surat yang ditandatangani Dirjen Perikanan Tangkap KKP Gellwyn Jusuf itu, seluruh kapal milik PT Dwikarya Reksa Abadi dan perusahaan satu grupnya, PT Avona Mina Lestari, baik yang izinnya masih berlaku maupun tidak, dilarang beroperasi. Tercatat ada 85 kapal yang dioperasikan perusahaan itu.

Saat Satgas Mafia Perikanan melakukan sidak ke Wanam pada 20 Januari 2015, satgas kembali menyelidiki kapal Dafeng. Pengawas Perikanan PSDKP Kimaan di Wanam kembali memeriksa kapal Dafeng yang berada di dermaga PT Dwikarya. Dengan disaksikan delapan petugas dari berbagai instansi dan seorang perwakilan perusahaan, kembali diterbitkan BAP yang mirip dengan sebelumnya.

Kedua kapal yang dioperasikan PT Dwikarya itu pun diduga mempekerjakan ABK asing. Di kapal Dafeng, penyelidikan sementara menduga ada 70 ABK Indonesia yang diganti dengan ABK Filipina untuk memindahkan muatan ikan di tengah laut. Dalam dokumen kapal, tercatat kapal Dafeng berawak 23 ABK asal Tiongkok.

Berdasarkan pengakuan sumber, Dafeng mengambil ikan dari kapal-kapal yang berukuran di atas 150 gross tonnage (GT) tanpa lewat dermaga. "Kan peraturannya harus dibongkar di dermaga, didaratkan dulu kemudian baru dimuat. Nah, ini seringnya di selat lalu dibawa ke Tiongkok," ungkap seorang mantan ABK saat ditemui di Wanam.

Bupati Merauke Romanus Mbraka mengaku mengetahui praktik transshipment yang selama ini terjadi di perairan wilayahnya. "Paling banyak pertama di Merauke, kedua di Wanam," kata dia. Menurutnya, alih muatan di tengah laut terjadi baik dari kapal besar ke kapal besar maupun kapal kecil ke kapal besar. "Saya punya kapal ikan, jujur saya beri tahu. Kapal kecil ini kalau dua atau tiga bulan di laut, ya, penuh. Bahkan, tiga minggu saja kapal bisa penuh. Daripada ke darat, mereka rugi. Akhirnya, dia jual kepada si pembeli yang beli pakai dolar. Setelah selesai, dia operasi lagi. Baru terakhir masuk (pelabuhan)," ungkapnya.

[email protected]