ABK Indonesia cuma Jadi Nakhoda Bayangan

Penulis: Nat/T-2 Pada: Senin, 23 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
ABK Indonesia cuma Jadi Nakhoda Bayangan

ANTARA/Izaac Mulyawan

SEJUMLAH perusahaan Indonesia yang mengoperasikan kapal built-up masih mempekerjakan tenaga kerja asing meski telah dilarang dalam aturan perikanan tangkap tersebut.

Untuk bantalan, mereka biasanya menggunakan tenaga kerja Indonesia dengan perbandingan yang jomplang. Seorang anak buah kapal (ABK) Indonesia berbanding enam ABK asing. Permainan jumlah ABK itu sengaja diatur agar kapal tersebut lolos mendapatkan izin beroperasi.

Di Pelabuhan Perikanan Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, ada enam kapal ikan milik PT Sino Indonesia Shunlida Fishing yang ditahan karena beroperasi tanpa memiliki surat laik operasi (SLO). Lima kapal lainnya ditahan di dermaga TNI-AL di Halong Ambon, Maluku.

Menurut Asisten Operasi Danlantamal XI/Merauke Kolonel Bayu Tri Kuncoro, kapal-kapal itu ditangkap KRI Abdul Halim Perdanakusuma pada 28 Desember 2014. Selain tidak mengantongi izin operasi, mereka pun menggunakan ABK dari Tiongkok. Kapal PT Sino pun memakai alat tangkap jaring pukat (trawl) yang dilarang keras karena merusak habitat laut.

Pengurus PT Sino Indonesia Shunlida Fishing, Chen Wei, mengaku tidak tahu alasan penahanan kapal-kapal milik mereka. "Katanya, karena pakai ABK negara asing, mungkin terlalu banyak begitu. Kalau surat izin, ada, lengkap," ujarnya.

Menurutnya, perusahaan yang memiliki kapal sebanyak 18 unit itu menggunakan 200 ABK asal Tiongkok dan 70 ABK asing. Perusahaan yang berdiri sejak 2008 itu menilai ABK Indonesia kurang lancar dalam menggunakan peralatan tertentu. "Kalau pakai ABK Indonesia semua, ya, mungkin kapal kami susah jalan, ya," tambah Chen.

Salah seorang ABK yang pernah bekerja sebagai nakhoda di perusahaan ikan di Wanam mengatakan praktik illegal fishing bisa terjadi di Indonesia karena sejumlah faktor. Salah satunya penggunaan tenaga kerja asing di kapal yang beroperasi di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya, biasanya perusahaan tetap menggunakan tenaga kerja Indonesia sebagai ABK atau nakhoda 'bayangan'. Ketika pemeriksaan dilakukan, para ABK lokal yang diperlihatkan kepada petugas agar lolos dari jeratan hukum.

Mereka disebut nakhoda bayangan karena jabatan itu hanya formalitas. "Misalnya untuk menandatangani surat izin berlayar, ya karena memang harus orang Indonesia. Tapi, sesudah berangkat, ya diperlakukan sama seperti ABK biasa," jelas dia.

Padahal, selayaknya nakhoda yang tercatat resmi dalam surat izin, tanggung jawab yang diembannya tetap sebesar nakhoda. "Kalau kapal tenggelam, misalnya, itu kan tanggung jawab nakhoda," ujarnya.

ABK lain di Wanam mengaku mendapatkan perlakuan diskriminatif dari perusahaan jika dibandingkan dengan ABK asing. Mulai gaji hingga makanan, ABK Indonesia dibedakan dengan asing. Belum lagi masalah jabatan yang disematkan yang belum tentu sesuai dengan pekerjaan yang didapatkan di kapal.

"Misalnya kami juga menjadi perwira kapal, tapi bekerja sama seperti ABK yang pilih-pilih udang atau ikan," ungkapnya.